Senin, 31 Januari 2011

WANITA MATA AIR KERINDUAN


             Bicara tentang wanita sungguh mengasikkan dan takkan pernah habis-habisnya sebagai inspirasi. Baik atau buruk sebagai topik  pembicaraan tetap saja mengundang interes bahkan kerap sambil membicarakannya disela gelak tawa serta tak jarang telan ludah karena getar imajinasi.
            Wanita memang tahan banting (megantung bok akatih) ketika melahirkan  anak, dan (asuri sampad) tanpa ampun meracik derita manakala ia diperlakukan semena-mena. Ia bisa  menyemburkan “pracanda”, merefleksikan kedahsyatan nestapa lebih-lebih  sebagai “wyala”, seekor ular berbisa yang mematikan. Untuk jelasnya identifikasi wanita dengan kebolehan seperti ini terlukiskan di dalam Sloka 426 Sarasamuscara “ antakah pavano mrtyuh patalam vad- avamukham, ksuradhara visam sarpo vahnirityekatah striyah”.
            Disisi lain manakala wanita mendapat perlakuan yang baik, maka ia bisa melahirkan  cinta pengikat laki-laki sekaligus meruntuhkan kelaki-lakiannya. Laki-laki yang telah terjerembab dipelukan wanita merasakan tubuhnya dibelenggu rantai birahi, ibaratnya  seekor ikan yang terjaring pukat dan terpenjara dalam akuarium asmara wanita.

DISPOSISI MENJADI MANUSIA YANG BAIK


            Kamu kan manusia dan  apa manusia menurut agamamu? Adik saya sebagai guiden Perancis benar-benar terhenyak tiba-tiba sang tamu bertanya tentang itu. Dijawabnya saja  “Tuhanlah yang menciptakan manusia”. Sang tamu manggut-manggut saja. Dari ilustrasi itu ada baiknya kita coba untuk mencari pengertian tentang manusia itu.
            Sepanjang pengetahuan saya, secara definitif manusia  memang belum ditemukan di dalam referensi kitab suci agama Hindu yang ada. Namun kita coba interpretasi dari salah satu aliran Vedanta yaitu  Dwaita Vedanta. Didalam Dwaita Vedanta disebutkan bahwa Brahman pencipta alam semesta beserta segala isinya. Penciptaan tersebut tidak dilakukan secara sekaligus, melainkan melalui suatu proses evolusi. Yang mula pertama diciptakan “purusa” (Nurkancana,1998 : 32), yaitu zat kerohanian yang memiliki sifat-sifat yang mendekati sifat-sifat Tuhan. Prosesi berikutnya diciptakanlah “prakerti”, yaitu zat kebendaan. Manakala zat kerohanian dan zat kebendaan ini bertemu terciptalah makhluk hidup termasuk manusia. Jadi manusia itu ada, karena bersatunya purusa dan prakerti.
            Evolusi penciptaan alam semesta menjadikan purusa berada pada stratifikasi yang dapat diklasifikasi , pertama “Nitya Purusa”, yaitu purusa yang tidak pernah terbelenggu oleh prakerti. Nitya Purusa ini adalah para Dewa sebagai ciptaan Tuhan yang dapat disetarakan dengan malaikat dalam ajaran agama lain. Kedua, “Mukti Purusa”, yaitu purusa yang pernah terbelenggu oleh prakerti, namun kemudian mencapai kelepasan (moksa). Mukti Purusa ini adalah roh orang-orang suci yang telah mencapai moksa. Ketiga “Samsarin Purusa”, yaitu purusa yang masih terikat oleh siklus samsara/phunarbhawa. Samsarin Purusa ini adalah roh manusia pada umumnya. Keempat, “Tamo Purusa”, yaitu purusa yang nasibnya masih dalam kegelapan. Tamo Purusa ini adalah roh makhluk-makhluk tingkat rendah, seperti roh binatang, roh tumbuh-tumbuhan dan makhluk-makhluk halus tingkat rendah. (Nurkancana,1998 : 33).

MARTABAT


               Dalam  bahasa sehari-hari  kita sering mendengar   kata-kata “ tak bermartabat”, “Tidak kasihan sama  martabat keluarga”,  juga kita dengar “martabat bangsa”, dll.  Apa sesungguhnya hakekat “martabat” itu? Apa martabat sama dengan harga diri atau gengsi?
“ HENDAKLAH MEMPERLAKUKAN MANUSIA SELALU JUGA SEBAGAI TUJUAN PADA DIRINYA DAN TIDAK PERNAH SEBAGAI SARANA BELAKA ”. ini statemen Immanuel Kant filosof Jerman  yang sangat menghormati martabat manusia sehingga menjadi suatu imperatif moral yang wajib kita lakukan.
                Dalam konteks ini  martabat apalagi martabat manusia adalah virtue (keutamaan) norma dasar moral . Martabat menjadi terpenting sebagai norma dasar moral, karena masih ada norma dasar lainnya. Namun sekurang-kurangnya norma dasar terpenting menurut kesadaran moral dewasa ini adalah martabat manusia. Kenyataannya orang  sangat mudah mengatakan  martabat, saking seringnya diucapkan menjadikan  kata martabat manusia terasa  bagai sebuah slogan yang kosong. Oleh karena itu mari kita coba mencari rasionalitas pengertian “martabat manusia “ itu.