Senin, 31 Januari 2011

DISPOSISI MENJADI MANUSIA YANG BAIK


            Kamu kan manusia dan  apa manusia menurut agamamu? Adik saya sebagai guiden Perancis benar-benar terhenyak tiba-tiba sang tamu bertanya tentang itu. Dijawabnya saja  “Tuhanlah yang menciptakan manusia”. Sang tamu manggut-manggut saja. Dari ilustrasi itu ada baiknya kita coba untuk mencari pengertian tentang manusia itu.
            Sepanjang pengetahuan saya, secara definitif manusia  memang belum ditemukan di dalam referensi kitab suci agama Hindu yang ada. Namun kita coba interpretasi dari salah satu aliran Vedanta yaitu  Dwaita Vedanta. Didalam Dwaita Vedanta disebutkan bahwa Brahman pencipta alam semesta beserta segala isinya. Penciptaan tersebut tidak dilakukan secara sekaligus, melainkan melalui suatu proses evolusi. Yang mula pertama diciptakan “purusa” (Nurkancana,1998 : 32), yaitu zat kerohanian yang memiliki sifat-sifat yang mendekati sifat-sifat Tuhan. Prosesi berikutnya diciptakanlah “prakerti”, yaitu zat kebendaan. Manakala zat kerohanian dan zat kebendaan ini bertemu terciptalah makhluk hidup termasuk manusia. Jadi manusia itu ada, karena bersatunya purusa dan prakerti.
            Evolusi penciptaan alam semesta menjadikan purusa berada pada stratifikasi yang dapat diklasifikasi , pertama “Nitya Purusa”, yaitu purusa yang tidak pernah terbelenggu oleh prakerti. Nitya Purusa ini adalah para Dewa sebagai ciptaan Tuhan yang dapat disetarakan dengan malaikat dalam ajaran agama lain. Kedua, “Mukti Purusa”, yaitu purusa yang pernah terbelenggu oleh prakerti, namun kemudian mencapai kelepasan (moksa). Mukti Purusa ini adalah roh orang-orang suci yang telah mencapai moksa. Ketiga “Samsarin Purusa”, yaitu purusa yang masih terikat oleh siklus samsara/phunarbhawa. Samsarin Purusa ini adalah roh manusia pada umumnya. Keempat, “Tamo Purusa”, yaitu purusa yang nasibnya masih dalam kegelapan. Tamo Purusa ini adalah roh makhluk-makhluk tingkat rendah, seperti roh binatang, roh tumbuh-tumbuhan dan makhluk-makhluk halus tingkat rendah. (Nurkancana,1998 : 33).



            Lebih jauh Nurkancana menguraikan, bahwa tujuan akhir dari purusa adalah melepaskan diri dari belenggu prakerti. Ada tiga jalan atau tahapan yang ditempuh untuk tujuan itu yang merupakan satu kesatuan, yaitu  Jnana marga, yaitu suatu usaha untuk mengetahui suatu hakekat yang sebenarnya dari Brahman, Atman, Prakerti, serta menyadari bahwa dirinya berhakekatkan rohani yang berasal dari Brahman. Karma marga, yaitu melakukan kewajiban hidup tanpa mengharapkan hasil/pahala. Bhakti marga, yaitu pengabdian diri sepenuhnya kepada Tuhan. Ketiga tahapan ini hendaknya dilakukan bersama-sama tanpa boleh melakukan pilihan satu diantara ketiganya. Barangkali inilah etika pendakian manusia untuk menemukan jati dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
            Mengingat, bahwa  manusia bermula dari zat kerohanian dan zat kebendaan, ketika ia disebut sebagai manusia  dapatkah kita katakan ia sama dengan manusia lainnya? Di dalam Slokantara Sloka 27 (Tjok.Sudharta, 2003 : 194) disebutkan “Ekorasasamutpanna ekanaksatrakanwittah, na bhawanti samacara yatha badarakantakah”, artinya meskipun manusia itu lahir dari perut ibu yang sama, waktu yang sama, namun kelakuannya tidak akan sama. Manusia yang satu akan berbeda dengan manusia lainnya seperti berbedanya duri “belatung”. Prof. Dr. Tjok.Sudhartha MA memberi ulasan cukup signifikan bahwa manusia itu tidak ada yang sama sebagaimana untaian pepatah Indonesia “kepala sama berbulu tetapi hati berbeda”. Kebenaran statemen di atas diakui pula oleh para psikolog dengan argumentasi bahwa terjadinya perbedaan diantara manusia adalah pengaruh rutinitas pergaulan.  Meskipun sifat-sifat yang diwarisinya sama, tetapi akibat pengaruh lingkungan, maka terbentuklah watak yang berbeda. Di dalam agama Hindu dominasi “karmawasana/phalakarma” perbuatan atma dalam hidupnya terdahulu sangat menentukan adanya perbedaan tersebut.
            Dalam penilaian etis kontemporer bahwa keutamaan dan watak moral merupakan disposisi untuk menjadi manusia yang baik. Seiring dengan ini K. Bertens dalam bukunya “Etika” mengatakan bahwa keutamaan (virtue) membuat seseorang menjadi manusia yang baik. Keutamaan adalah disposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral. Contohnya kemurahan hati berderma bagi fakir miskin. Dan kita semua akan setuju bahwa perbuatan itu adalah baik dan terpuji. Sebagai disposisi, keutamaan itu merupakan suatu kecenderungan tetap.
            Memaknai narasi di atas, adalah senada dengan ucap Sarasamuscaya Sloka 23 “Lawan ta waneh, ring helet, ring alas, ring pringga, ring laya, salwirning duhkha hetu, ri paperangan kuneng, tar teka juga ikang bhaya, ri sang dharmika, apanikang subhakarma rumaksa sira” (Kajeng,dkk,1999:20). Artinya secara umum bahwa dimana dan dalam situasi apapun tidak akan ada bahaya menimpa orang yang senantiasa melaksanakan dharma,karena ia dilindungi oleh perbuatan baiknya.
            Menjadi manusia yang baik dalam konotasi berpikir, berkata, dan berbuat  tidak dimiliki manusia sejak lahir. Perbuatan baik sebagai keutamaan moral itu terbentuk melalui suatu proses “pembiasaan “ yang cukup panjang. Proses pembiasaan belumlah cukup jika tidak dibarengi dengan upaya “korektif” artinya keutamaan moral diperoleh dengan melakukan koreksi terhadap sifat awal yang tidak baik. Konstelasi keutamaan ini oleh K. Bertens disebut sebagai keutamaan berlangsung “melawan arus” (mengatasi kesulitan yang dialami dalam keadaan biasa). Misalnya keutamaan  seperti  keberanian diperoleh dengan melawan rasa takut bila menghadapi suatu bahaya. Demikian juga tentang pengendalian diri akan terbentuk dengan melawan kecenderungan untuk mencari kesenangan tanpa batas.
            Dari uraian di atas memberi gambaran bahwa, disposisi menjadi manusia yang baik hakekatnya adalah sebagai sifat watak moral yang perlu kiranya dibedakan dengan sifat watak non moral (sifat watak moral yang dimiliki secara alamiah atau sejak dilahirkan). Memang harus disadari bahwa sifat watak non moral itu tidak langsung sebagai syarat keutamaan moral,karena bisa saja seseorang menurut kecenderungan alamiahnya tidak tahu akan bahaya, oleh karena itu ia tidak memiliki keutamaan keberanian. Namun kita mesti mengakui bahwa sifat watak non moral itu akan sangat bermanfaat dalam memudahkan terbukanya jalan pembentukan keutamaan.
            Secara referensial sesungguhnya masih banyak disposisi menjadi manusia yang baik dapat kita cermati dari kitab suci agama (Hindu), namun sebagai kunci penting kita simak “Visi” Sarasamuscaya Sloka 7 “ karmabhumiriya Brahman phalabhumirasau mata iha yat kurute karma tat paratropabhujyate”. Manfaatkanlah kesempatan menjadi manusia didunia ini dengan selalu berbuat kebajikan dan berusaha menghindari “wakparusya” sebagai delik hukum. Itulah kemudian direkonstruksi menjadi misi ajaran  di dalam “kekawin Niti Sastra ”Wasita nimitanta manemu laksmi, wasita nimitanta manemu dukha, wasita nimitanta pati kapangguh, wasita nimitanta manemu mitra” (Kata-kata menyebabkan seseorang mendapat kebahagiaan, mendapat kedukaan, mendapat sahabat dan kematian).
            Untuk  memperkuat  disposisi menjadi manusia yang baik selain kunci visi dan misi di atas  ada baiknya kita cermati  Sloka 17 dalam kitab “Niti Satakam” mengajarkan , jika seseorang memiliki sifat penyabar, maka ia tidak lagi memerlukan senjata. Jika seseorang memiliki karakter pemarah, maka ia tidak perlu lagi mencari musuh. Jika seseorang selalu membangga-banggakan kastanya, maka ia tidak perlu lagi api, karena dengan kebanggaan dirinya telah cukup membakar hatinya. Jika seseorang mempunyai sahabat yang baik, maka ia tidak perlu lagi mengusahakan kapsul supranatural. Jika seseorang hidup dalam lingkaran orang-orang jahat, maka ia tidak perlu lagi mencari ular berbisa. Jika sudah ada ilmu pengetahuan yang baik dan benar apa gunanya kekayaan yang lain. Jika seseorang memiliki  Shame culture (rasa malu) apa perlunya mencari ornament lain? Jika seseorang adalah penyair yang baik, maka ia tidak perlu lagi mendambakan sebuah kerajaan.
            Dan last but not list disposisi menjadi manusia yang baik sangat tergantung dari legalitas moral memanusiakan manusia itu sendiri.

1 komentar: