Senin, 31 Januari 2011

WANITA MATA AIR KERINDUAN


             Bicara tentang wanita sungguh mengasikkan dan takkan pernah habis-habisnya sebagai inspirasi. Baik atau buruk sebagai topik  pembicaraan tetap saja mengundang interes bahkan kerap sambil membicarakannya disela gelak tawa serta tak jarang telan ludah karena getar imajinasi.
            Wanita memang tahan banting (megantung bok akatih) ketika melahirkan  anak, dan (asuri sampad) tanpa ampun meracik derita manakala ia diperlakukan semena-mena. Ia bisa  menyemburkan “pracanda”, merefleksikan kedahsyatan nestapa lebih-lebih  sebagai “wyala”, seekor ular berbisa yang mematikan. Untuk jelasnya identifikasi wanita dengan kebolehan seperti ini terlukiskan di dalam Sloka 426 Sarasamuscara “ antakah pavano mrtyuh patalam vad- avamukham, ksuradhara visam sarpo vahnirityekatah striyah”.
            Disisi lain manakala wanita mendapat perlakuan yang baik, maka ia bisa melahirkan  cinta pengikat laki-laki sekaligus meruntuhkan kelaki-lakiannya. Laki-laki yang telah terjerembab dipelukan wanita merasakan tubuhnya dibelenggu rantai birahi, ibaratnya  seekor ikan yang terjaring pukat dan terpenjara dalam akuarium asmara wanita.
 
            Ilustrasi di atas menggambarkan betapa perlunya saling memperhatikan dan saling menghormati antara wanita dan pria dalam menara kehidupan ini. Dalam arti khusus, maksudnya suatu hubungan dimana yang satu tidak memperalat yang lain dan yang satu tidak melihat yang lain sebagai alat untuk memuaskan kepentingannya sendiri (egois). Ada kebersamaan hak dan kewajiban antara pria dan wanita ditandai dengan sikap saling meninggalkan penggunaan kekuatan. Jika kesamaan kekuatan tidak ada, maka wanita akan tetap menjadi pihak yang dikuasai dalam sebagian besar aspek hubungannya dengan pria. Dalam kondisi seperti ini tidak ada privacy (keleluasaan pribadi) bagi wanita. Hal ini juga berarti telah mencampakkan eksistensi wanita. Padahal di dalam Manawadharmasastra buku III “Tritiyo Dyayah” mulai sloka 56, 57, 58, 60 mengklaim kedudukan dan derajat wanita sedemikian rupa.  Sloka 56, misalnya “Yatra naryastu pujyante ramante tatra dewatah, yatraitastu na pujyante sarwastalah kriyah”,artinya ketika kita secara sadar dan tulus menghargai wanita berarti kita telah menebar benih satwam, mendudukkan dia dalam kerumunan dunia dewa yang senantiasa mengirimkan cahya bulan yang menyejukkan. Sebaliknya ketika dia tidak mendapat penghormatan secara proporsional, maka sangsi spiritualpun menghadang, sehingga seberapapun banyaknya upacara dilakukan akan sia-sia dan tidak mendatangkan pahala apa-apa.  Lebih jauh Sloka 57 mengingatkan manakala wanita telah berkeluarga, maka keluarga itu akan mengalami kegagalan dan kehancuran rumah tangga sepanjang wanita itu dibuat menderita. Oleh karena itu sepatutnya kita mampu mensubordinasikan (mempergunakan) sentimen-sentimen (perasaan) pribadi yang kokoh demi keutuhan keluarga. Yang patut juga dihindari adalah mengumbar caci maki/penistaan terhadap wanita, karena penistaan ini akan mendatangkan  tangan-tangan gaib (invisible hand) tanpa kompromi membuat keluarga binasa. Sebaliknya patut dipelihara keserasian “Samtusto bharyaya bharta bhartra tathaiwa ca, yasminnewa kule nityam kalyanam tatra wai dhruwam” (Sloka 60), maka payung kebahagiaan akan selalu terbuka dalam harmonisasi hubungan wanita dan pria (suami istri) dalam rumah tangga tersebut.
            Dengan kedudukan seperti itu lalu wanita/kaum feminis mempunyai privacy membuat sebuah keluarga menjadi “freedom of business” atau oleh Virginia Held dalam bukunya “Etika Moral,pembenaran tindak sosial” menyebut sebagai “bisnis mini” atau “Negara mini” yang didasarkan pada kontrak dan kepentingan pribadi. Lebih jauh Virginia Held mengatakan kita perlu melestarikan hal-hal terbaik dari hubungan berlandaskan sikap saling mengasuh dan memperhatikan yang selama ini telah menjadi ciri hubungan-hubungan terutama antara wanita dan anak, dan kadang-kadang antara wanita dan wanita, dan sekali-sekali antara wanita dan pria non seksis, serta memperluas hubungan ini ke masyarakat. Kebersamaan timbal balik antara wanita pria niscaya akan dapat menggantikan dominasi dan patriarki (pemaksaan kehendak oleh yang kuat kepada yang dikuasai) tampaknya bukan mustahil pada akhirnya akan berpengaruh serta bermanfaat pada hubungan-hubungan antara sesama orang pada tatanan masyarakat. Hubungan-hubungan dimaksud akan melembaga pada institusi sosial. Menurut O’Dea dalam teori fungsionalnya memandang  institusi itu berada dalam keseimbangan yang memperkokoh aktivitas manusia berdasarkan norma-norma yang dianut bersama serta dianggap sah dan mengikat peran serta masyarakat itu sendiri.
            Dalam konteks ini, untuk mampu mempertahankan eksistensi moralnya dari persoalan-persoalan yang dihadapi, manusia membutuhkan agama, sebab agama merupakan mekanisme penyesuaian yang paling mendasar terhadap unsur-unsur baik yang mengecewakan maupun yang menjatuhkan. Seperti misalnya  sematang apapun rencana manusia tidak akan luput dari rasa kecewa, tidak semua yang diinginkan manusia dapat dipenuhi, dan menghadapi berbagai situasi meskipun telah memanfaatkan tehnologi canggih, resep-resep sosial yang adequate (sahih), kenyataannya itu semua belum memiliki kelengkapan total sebagai mekanisme penyelaras. Mekanisme penyelarasan hanya dapat dilakukan melalui pemeliharaan rasa percaya sosial. Sissela Bok (dalam Virginia Held,1991:64) memperkuat makna rasa percaya sebagai sebuah kebaikan sosial yang perlu dilindungi seperti halnya kita melindungi udara yang kita hirup dan air yang kita minum. Bilamana rasa percaya ini rusak, maka seluruh komunitas akan menderita, dan bilamana rasa percaya ini hancur, maka seluruh masyarakat goyah dan runtuh. Dalam kamus Webster mendefinidikan  rasa percaya (trust) sebagai “ the assured reliance on another’s integrity” (keyakinan mendalam pada integritas orang lain). Dari definisi di atas rasa percaya tampaknya merupakan sebuah kesediaan untuk menghormati dan menyandarkan diri pada orang lain. Jika rasa percaya terjadi timbal balik sudah jelas landasannya adalah sikap saling menghormati dengan membuang jauh-jauh altruisme.
            Demikian pula digambarkan di dalam Manawadharmasastra III, sloka 59 “Tasmadetah sada pujya bhusanaccha dana canaih, bhuti kamairnarair nityam satkaresutsawesu ca”, artinya menghormati wanita akan mendatangkan kesejahteraan lahir bathin. Apalagi jika terjadi saling menghormati di atas pijakan rasa percaya antara wanita – pria (suami istri), maka aura rumah tangga itu akan selalu bercahaya, maka kebahagiaanpun kekal. Jadikanlah wanita mata air kerinduan prima fasie untuk munculnya mata air-mata air baru yang senantiasa mengalirkan kerinduan  akan“nirwikara”/ “apageh ring hayu” (selalu dalam keadaan selamat) dalam dunia rumah tangga.
            Wanita – pria mendayunglah bersama untuk sampai pada pulau tujuan sebagaimana dicontohkan David Hume (dalam Virginia Held,1991:67), Jika anda dan saya berada dalam sebuah perahu dayung, dan jika saya ingin perahu dayung ini berjalan, dan andapun ingin perahu dayung ini berjalan, dan perahu ini akan berjalan kalau kita berdua mendayungnya, maka saya akan mengambil tongkat  dayung dan mendayung, dan secara bersama-sama kita menjalankan perahu ini melintas air.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar