Dalam bahasa sehari-hari kita sering mendengar kata-kata “ tak bermartabat”, “Tidak kasihan sama martabat keluarga”, juga kita dengar “martabat bangsa”, dll. Apa sesungguhnya hakekat “martabat” itu? Apa martabat sama dengan harga diri atau gengsi?
“ HENDAKLAH MEMPERLAKUKAN MANUSIA SELALU JUGA SEBAGAI TUJUAN PADA DIRINYA DAN TIDAK PERNAH SEBAGAI SARANA BELAKA ”. ini statemen Immanuel Kant filosof Jerman yang sangat menghormati martabat manusia sehingga menjadi suatu imperatif moral yang wajib kita lakukan.
Dalam konteks ini martabat apalagi martabat manusia adalah virtue (keutamaan) norma dasar moral . Martabat menjadi terpenting sebagai norma dasar moral, karena masih ada norma dasar lainnya. Namun sekurang-kurangnya norma dasar terpenting menurut kesadaran moral dewasa ini adalah martabat manusia. Kenyataannya orang sangat mudah mengatakan martabat, saking seringnya diucapkan menjadikan kata martabat manusia terasa bagai sebuah slogan yang kosong. Oleh karena itu mari kita coba mencari rasionalitas pengertian “martabat manusia “ itu.
Filsuf Jerman Immanuel Kant mengatakan bahwa kita harus menghormati martabat manusia, karena manusia satu-satunya makhluk yang merupakan tujuan pada dirinya. Ketika benda-benda yang ada disekeliling kita dapat digunakan untuk memenuhi tujuan-tujuan kita, ketika binatang juga kita manfaatkan demi tujuan kita, namun beda dengan manusia yang mempunyai tujuan sendiri tidak boleh ditaklukkan pada tujuan yang lain. Mengapa? Karena manusia adalah makhluk bebas dan otonom dan sanggup mengambil keputusannya sendiri. Manusia adalah pusat kemandirian, karena manusia adalah “persona”. Manusialah satu-satunya yang mempunyai harkat intrinsik, oleh karena itu ia harus dihormati sebagai tujuan pada dirinya.
Gengsi, harga diri jelas tidak sama dengan martabat, terutama kita harus membedakan antara “harga” dan martabat”. Harga dimiliki oleh sesuatu yang kita cari sebagai tujuan, tetapi pada prinsipnya hal itu selalu bisa diganti dengan sesuatu yang lain. Untuk sesuatu yang memiliki harga selalu tersedia sebuah “ekuivalen”, artinya sesuatu yang bisa menjadi penggantinya. Jika saya membeli sebuah sepeda motor, misalnya, itu tidak berarti bahwa saya membeli sepeda motor merk tertentu saja, sebab masih dapat diganti dengan merk , type, kualitas sepeda motor yang lain. Sedangkan “martabat” adalah unik dan tidak pernah dapat disetarafkan atau diganti dengan sesuatu yang lain. Jadi martabat tidak ada ekuivalennya. Sesuatu yang mempunyai harga ia mempunyai nilai relatif, dan sesuatu yang mempunyai martabat ia memiliki nilai intrinsik dan oleh karena itulah tidak dapat diganti dengan sesuatu yang lain.Dengan kata lain bahwa “martabat” terkandung di dalamnya isi moral yang wajib dihormati karena dirinya sendiri atau sebagai tujuan pada dirinya.
Demikianlah keutamaan moral sebagai isi martabat manusia didalam konsep Hindu dapat kita cermati didalam Sarasamuscaya sloka 2 “ manusah sarvabhutesu varttate vai subhasubhe, asubhesu samavistam subhesvevavakarayet”. Kita hendaknya menyadari dan mensyukuri karena kita dilahirkan sebagai manusia. Karena hanyalah manusia yang dapat melakukan perbuatan baik atau buruk. Segala perbuatan buruk hendaknya kita hindari dan leburlah kedalam perbuatan baik segala perbuatan yang buruk. Virtue (keutamaan) manusia ada disini, sekaligus martabat sebagai manusia akan sangat ditentukan oleh perbuatan kita sendiri. Justru dari makna sloka di atas memotivasi manusia untuk selalu mulat sarira (mawas diri) atau introspeksi. Dan tidak etis merasa sedih apalagi mengumpat dengan keadaan yang dialami dalam mengarungi suka duka hidup dan kehidupan ini. Tetapi semestinya kita harus berbahagia karena kita telah dilahirkan kedunia ini sebagai manusia. Ekuivalennya apapun kondisi yang kita alami tidak akan mungkin digantikan atau diterimakan pada orang lain, kecuali dari kita sendiri karena hanya kita sendirilah yang dapat menolong diri sendiri dari kondisi duka atau petaka. Tentu dengan selalu mengamalkan dharma. ”Apan iking dadi wwang, uttama juga ya, nimittaning mangkana, wenang ya tumulung awaknya sangkeng sangsara, makasadhanang subhakarma, hinganing kottamaning dadi wwang ika” (Sarasanjuscaya,sloka 4)
Pada hakekatnya di dalam kehidupan ini seringkali kita melakukan pekerjaan menggunakan jasa orang lain sebagai sarana. Misalnya saya menggunakan jasa pemangkas rambut. Ini jelas-jelas tidak dilarang, karena selain menggunakan jasanya saya menghormatinya serbagai “persona” . Menghormatinya sebagai tujuan pada dirinya dan sebagai imbalan saya memberikan sejumlah uang yang menjadi haknya.
Selain hal di atas kita seyogyanya menghindari memperlakukan orang lain dengan cara-cara memanipulasi demi tujuan kita apalagi sampai hati memperalatnya dengan menyampingkan sebagai tujuan pada dirinya. Suatu contoh yang mungkin banyak diantara kita mengalaminya, yaitu karena sesuatu yang sangat mendesak untuk biaya opname salah seorang keluarga, sedangkan kita tidak mempunyai uang untuk itu. Sebagai alternatif kita memutuskan untuk meminjam uang kepada teman. Manakala kita telah bertemu teman tersebut lalu kita menyatakan keinginan untuk dapat dipinjami sejumnlah uang dengan janji untuk mengembalikannya tiga bulan lagi. Padahal sesungguhnya kita tidak akan mampu mengembalikannya sesuai janji itu. Dapatkah dibenarkan tindakan kita ini? Jawabnya pasti tidak. Karena dalam peristiwa ini kita telah memperalat teman untuk memenuhi tujuan kita. Mestinya yang patut kita katakan kepada teman bahwa maksud meminjam uang itu secara terus terang dikatakan juga saya tidak akan sanggup mengembalikannya karena kondisi sosial ekonomi yang tidak memungkinkan. Dengan keterusterangan itu pada akhirnya keputusan akan tergantung teman itu. Disinilah dia akan mengambil keputusan secara bebas dan otonom. Entah dia akan memutuskan memberikan atau tidak memberikan dia sendirilah yang akan mementukan tujuannya dan dalam hal ini dia tidak kita peralat demi tujuan yang lain.
Menyimak contoh tersebut jelas bahwa otonomi manusia tidak pernah boleh diganggu gugat. Otonomi manusia itu absolute yang sekaligus menunjukkan persamaan derajat manusia. Artinya manusia harus dihormati sebagai manusia. Bukan menghormati manusia karena statusnya di dalam masyarakat, bukan pula karena faktor keturunan, karena kekayaan dsbnya. Inilah alasan terakhir kita menghormati manusia semata-mata karena “martabat”nya sebagai manusia.
Akhirnya perlu ditambah suatu catatan penting bahwa martabat manusia sebagai norma dasar bisa disalah tafsirkan, andaikata manusia dipertentangkan dengan alam. Manusia sendiri adalah juga alam dan oleh karena itu manusia jangan diposisikan pada spectrum paradoksal dengan alam. Mari kita simak Bagawadgita Bab III tentang Karma Yoga, sloka 14 : ” Annad bhavanti bhutani, parjanyad annasanbhavah, yajnyah bhavati parjanyo, yajnyah karma samudbhava h”, artinya secara umum bahwa kita ini hidup karena adanya makanan. Bahan-bahan makanan itupun berasal dari tumbuhan yang dihidupi oleh hujan. Karena persembahan yadnya hujan itu turun dan persembahan itu lahir karena kerja. Jelas dapat kita tarik benang merahnya adanya korelasi yang sangat erat antara alam dan makhluk hidup dalam hal ini manusia. Hubungan antara manusia dengan alam itu hendaknya dibangun secara harmonis. Keharmonisan hubungan alam dan manusia baik vertikal maupun horizontal akan terjadi dalam koridor “co eksistensi” (berdampingan). Namun dalam berdampingan ini meski tak dapat dihindari adanya unsur-unsur yang berbeda namun perbedaan yang komplementatif (saling melengkapi). Menurut Bagawad Gita disebut sebagai Hukum alam atau “prakriti”.
Menyadari bahwa manusia adalah sebagian alam, maka alam jangan diperlakukan sebagai sarana demi memenuhi kebutuhan manusia. Alam jangan sampai dihabisi hanya dengan alasan demi martabat manusia, karena alampun memiliki martabat dalam arti seperti penjelasan di atas. Ekuevalensi alampun mempunyaI tujuan yang tak dapat diganti oleh tujuan lain. Oleh karena itu manusia dan alam tak dapat dipisahkankarena sama-sama mempunyai tujuan pada dirinya. Seberapa pentingnya hubungan manusia dengan alam itu? Ketika kita hanya beranjak dari martabat manusia saja tidak memungkinkan kita akan dapat menyusun suatu etika lingkungan hidup. Lebih –lebih pada era globalisasi sekarang ini, jika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak terarah kita sebagai manusia sudah sepatutnya menyadari dampak buruk yang akan ditimbulkannya. Meski perkembangan sains sedemikian dahsyat tidak lalu membuat kita meninggalkan martabat manusia sebagai norma dasar, namun kita perlu menempatkannya secara proporsional. Yang perlu kita ingat bahwa yang harus dihormati adalah manusia yang bersatu dengan alam,dan harus kita tolak jika alam dikorbankan kepada kepentingan manusia yang tidak seimbang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar